Memakani
filosofi yang sering disampaikan bapak kyai didepan santri-santri Darul Iman, tentu
tidak sesingkat mengingatnya. Karena selogan yang menyiratkan semangat dalam
mengarungi belantara hidup ini dipetik sebagai hikmah jauhnya langkah yang
telah ditempuh; menjalani
masa pendidikan yang diwarnai keprihatinan, kemudian mengawali dakwah dilingkungan
yang keras merambah aktifitas di organisasi kemasyarakatan, lalu membuka
hubungan baik dengan kalangan akademis, pemerintah juga politisi, sampai
kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan, Pondok Pesantren Terpadu Darul
Iman (PPTDI) di Kadupandak Banjar Pandeglang.
KH. A. Aminudin Ibrahim, LML, terlahir
dari keluarga santri pada 3 Juli 1949, masa kecil dilaluinya dalam suasana kampung
yang damai. Sejak kanak-kanak, bakat kepribadiannya yang keukueh dan
banyak maunya sudah nampak. Disatu sisi, “kenakalannya” itu justru berimplikasi
baik pada proses belajarnya. Saat sekolah dasar, misalnya, sempat berpindah
dari Jentul ke Cikuya yang jaraknya lebih jauh sambil turut “mondok” dengan
kakanya KH. A. Matinuddin Ibrahim, di Mama KH Syamsuddin di Petir Cibiuk. Selepas SD, sebagaimana
saudara-saudaranya yang lain, beliau belajar di pesantren salafy. Orang tua beliau,
KH. Ibrahim dan Ibu Hj. Dones (kini keduanya almarhum), selalu memberi dukungan
dalam pendidikan. Beliau menuntut ilmu di beberapa pondok pesantren, antara
lain beliau pernah berguru pada Kyai Syamsudin di Petir, Mama Ajengan Bakri di
Sempur Plered Purwakarta, KH. Matin Ibrahim (kakak kandung) di Nurul Huda Curugluhur dan pada KH. Aliyudin Cikadueun.
Berbekal
‘itikad untuk mengamalkan ilmu yang telah di dapat, pada tahun 1968 beliau
mulai melakukan kegiatan dakwah, menjalani hari-hari penuh tantangan. Pak kyai,
pada waktu itu sebagai Ustadz, mengajar majelis-majlis ta’lim di 5 wilayah
Jakarta, yaitu Grogol (Jakarta Barat), Tanah Abang (Jakarta Pusat), Jatinegara
(Jakarta Timur), Kebayoran Lama (Jakarta Selatan) dan Tanjung Priok (Jakarta
Utara) bahkan sampai daerah Bogor.
Seluruh waktunya digunakan malang-melintang
sebagai mubalig yang bersahaja. Setiap hari mengisi di satu sampai tiga majlis
ta’lim yang ramai diikuti muslimin dan muslimat. Sampai saat ini hubungan
dengan jamaah tersebut masih tetap terjalin, bahkan diantara mereka banyak yang
‘menitipkan’ putra putrinya untuk menuntut ilmu di Darul Iman. Setiap akhir pekan
[hari jum’at] beliau menyempatkan pulang ke Pandeglang menjenguk keluarga dan
mengisi majlis ta’lim mingguan di kampung halaman.
Di antara
kesibukannya saat itu, semangat untuk melanjutkan pendidikan justru semakin
tinggi. Apalagi beliau menyadari, di balik manfaat pendidikan di pondok salafi
yang telah di tempuhnya, terasa pula kekurangan-kekurangan sistem di dalamnya.
Tentang organisasi, misalnya, juga berbagai pengetahuan kontemporer yang
sesungguhnya amat penting (pada gilirannya, pengalaman ini, yang membuat beliau
terpicu untuk membuat lembaga pendidikan “terpadu”).
Pada pertengahan tahun 70 an Beliau lalu bergabung dengan Ittadul Muballighin
di bawah asuhan Kyai Haji Ahmad Syekhu, (Mantan Ketua DPRGR jaman Bung Karno
dan juga mantan Ketua PBNU, almarhum). Keaktifan pengasuh di lembaga ini antara
lain dengan meraih sukses saat menjadi Ketua Panitia menyelenggerakan pelatihan
khotib dan muballigh tahun 1977, tingkat kota madya Jakarta Barat. Kegiatan tersebut lalu di
tindak lanjuti di tingkat provinsi DKI Jakarta, sampai di tingkat Nasionial yang mendapat peninjauan khusus dari negri jiran, Mlaysia. Dalam aktifitasnya
belau memanfaatkan kesempatan untuk dapt mengenal lebih dekat berbagai
kalangan. Tokoh masyarakat, para ulama, dan kaum intelektual.
Berkat
keaktifannya pada tahun 1977 beliau mendapat tawaran melalui Ittihadu al-Muballigin untuk melanjutkan
pendidikan ke Timur Tengah. Kesempatan ini
sangat besar artinya bagi kelanjutan pendidikan dan perjuangan beliau maka
setelah melakukan berbagai persiapan beliau berangkat ke Jami’ah
Islamiyah Madinah Munawwarah Saudi Arabia pada akhir tahun 1979. Beberapa bulan kemudian
beliau mengajak serta istri dan seorang putranya (Ibu Hj. Chuzaemah dan Ahmad
Nurcholis) untuk tinggal di Madinah hingga menyelesaikan studi dengan baik di
akhir tahun 1984. Putranya Ahmad Nurcholis jga menyelasikan TK nya di sana.
Sebagai
lulusan dengan peringkat terbaik beliau memperoleh banyak tawaran kerja.
Seperti peluang sebagai profesional dari Deputi Agama Malaisya, atau kesempatan
berkiprah sebagai da’i di daerah segitiga emas, Batam. Namun semua itu ditolak oleh
beliau secara halus. Sejak awal, sebagai putra daerah Banten beliau bertekad
untuk kembali dan terjun langsung ke tengah masyarakatnya, apalagi kondisi
masyarakatnya ketika itu masih memerlukan sumber daya manusia yang memadai.
Tekad untuk berkiprah di kampung halaman itu sebetulnya sejalan dengan amanat
almarhum KH. Ibrahim, ayahanda beliau.
Setelah
kembali dari studinya di Universitas Islam Madinah, beliau meneruskan kegiatan da’wah dan pemberantasan praktek-praktek
khurafat dan bid’ah dholalah yang banyak berkembang di masyarakat.
Menurutnya, penyipangan ini terjadi akibat taklid a’ma yang melanda umumnya
masyarakat dengan tingkat pemahaman keagamaan yang dangkal. Perlu waktu dan
proses sosialisasi yang panjang dalam upaya penyadaran ini.
Gagasan
pendirian institusi pendidikan terpadu Darul Iman yang saat ini telah
berusia 30 tahun, adalah
sebuah manifestasi dari cita-cita beliau untuk membangun masyarakat muslim yang
maju. Tak sedikit aral melintang dalam proses menggagasnya, tapi ‘itikad
perjuangan yang bulat tidak bisa dilemahkan begitu saja.
Program
besar pembangunan pesantren segera dimulai Pak kyai dengan mengerahkan seluruh
kemampuannya, mendirikan yayasan PPTDI, tahun 1989. Sambil melakukan
konsolidasi, beliau bergerak di muka sebagai single fighter, melakukan lobi ke
berbagai pihak. Menggalang dana dan lain sebagainya. Hingga secara bertahap
pembangunan darul iman terus berkembang baik fisik maupun kualitas dan kuantitas santrinya. Tajdid
/reformasi pengurus, pengelola dan pembangunan sarana prasarana pendidikanpun
terus dilakukan.
Kini,
segenap pengurus Darul Iman telah berperan menjalankan berbagai program secara
signifikan. Untuk mengakomodasi progran pengembangan pondok pesantren secara
lebih luas, Pak kyai bersama para pimpinan pesantren lainnya bergabung dalam Forum
Silaturrahim Pondok Pesantren (FSPP) Prov Banten dan terpilih sebagai Ketua
Presidiumnya mulai tahun 2010. Beberapa tahun sebelumnya pengasuh
juga bergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesatren (FKPP). Dan beliau dipercayakan sebagi Ketua di kabupaten
Pandeglang pada tahun 1994.
Pada
awal Februari 1999 (5 Pebruari 1999), kyai yang dikenal dekat dengan
berbagai kalangan ini mencetuskan ide mengubah status Banten dari wilayah Keresidenan menjadi
Provinsi pada saat kunjungan Presiden BJ. Habibi ke Ponpes Darul Iman yang dipimpinya. Bola salju pun bergulir, dan beliau
menjadi Wakil Ketua pengurus badan Koordinasi (Bakor) Persiapan Pembentukan Provinsi Banten bersama
beberapa tokoh Banten lainnya.
Semasa hidupnya, di sela-sela kesibukannya sebagai pengasuh PPT Darul Iman, Staf Khusus Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia, Ketua Majlis
Ulama Prov. Banten, Anggota Presidium Forum Silaturrahim Pondok Pesantren
(FSPP) Prov. Banten dan Mustasyar Pengurus Wilayah NU Banten. Kyai
kharismatik ini tetap
aktif melakukan kegiatan da’wah di tengah masyarakat, serta disamping itu
menjadi dosen tetap di
Staisman Pandeglang dan mengisi berbagai forum kajian ilmiah dan keislaman. Di sela-sela waktu luang pak
kyai selalu menyempatkan menelaah khasanah pemikiran islam atau asyik dalm
perbincangan seputar wacana sosial politik yang berkembang.
Berbagai
langkah progresif yang dilakukan pengasuh PPT Darul Iman ini, kiranya dapat
menjadi cerminan bagi para santri untuk memacu, atau setidaknya satu langkah
lebih maju lagi. Sebagimana pribahasa sunda yang sering bapak kyai sampaikan, "Sirung Ngaluhuran Tunggul".
Pada tanggal 15 Desember 2021 lalu, beliau kembali ke rahmatullah, meninggalkan jariyah yang tak ternilai : Pondok Pesantren Terpadu Darul Iman
Comments
Post a Comment