Berpuasa Ramadhan adalah kewajiban individu
bagi setiap Muslim, kecuali orang yang sedang
sakit atau menempuh perjalanan jauh (musafir). Keduanya mendapat
dispensasi (rukhsah) boleh berbuka, dengan ketentuan mengganti puasa
yang ditinggalkannya itu pada hari lain.
Orang yang sedang sakit tidak perlu
memaksakan diri berpuasa, jika diyakini penyakitnya akan semakin berat dan kondisi
tubuhnya akan semakin melemah. Begitu pula seorang musafir, boleh berbuka
dengan kriteria tertentu sebagaimana dijelaskan dalam fikih.
Dispensasi ini menyiratkan pesan
bahwa dalam Islam, keselamatan jiwa adalah hal yang diprioritaskan, bahkan dapat
mengalahkan kepentingan agama sekalipun. Dalam istilah fiqh, usaha menjaga jiwa (hifdzun
nafs) dapat didahulukan atas usaha menjaga agama (hifdzud din).
***
Konsep tentang pentingnya menjaga
jiwa ini telah dirumuskan oleh para ulama besar terdahulu. Hujjatul Islam Abu
Hamid al Ghazali (w 505 H) misalnya, dalam karyanya al Mustashfa min
Ilm al Ushul membolehkan seorang Muslim mengaku kafir jika ia berada dalam kondisi terancam dibunuh
(kaun al ikroh mubihan li kalimat ar riddah li anna al hadzr min safak ad
dam asyadd). Kebolehan ini dilakukan
dalam rangka menyelamatkan nyawa. Ulama besar
lainnya, Imam Nawawi (w 676 H) mengatakan, “Orang yang dipaksa mengaku kafir,
kemudian ia mengucapkannya dengan maksud menjaga keselamatan dirinya padahal
dalam hatinya ia mengingkari ucapannya, maka ia tidak dapat dihukumi murtad”. Demikian
perkataannya dalam kitabnya yang terkenal, al Majmu Syarh al Muhadzab.
Benang
merah dari ucapan kedua ulama ini adalah bahwa dalam rangka menjaga keselamatan
jiwa, seseorang boleh menggunakan strategi mengaku kafir, asalkan hatinya tetap
mengakui keimanan (wa qalbuhu muthmainnun bil iman).
Masih dalam
konteks yang sama, ulama asal Banten yang mendunia, Syekh Nawawi al Bantani (w
1897 M) dalam Tafsir Marah Labid-nya mengatakan, “Perbuatan keta’atan
yang diyakini akan menimbulkan terjadinya bahaya yang nyata, maka ia wajib
ditinggalkan”. Rencana beribadah haji, demikian Syekh Nawawi mencontohkan dalam
salah satu karya fiqh-nya, wajib ditunda jika jalur yang akan dilewati diyakini
penuh resiko atau bahaya.
***
Pandangan-pandangan
para ulama tentang urgensi menjaga jiwa dan agama sebagaimana paparan di atas,
kini menemukan korelasinya dengan kondisi kita yang sedang menjalankan ibadah
Ramadhan di tengah wabah Covid-19. Kita ingin menjalankan ibadah Ramadhan yang
penuh berkah ini di Masjid sebagaimana biasa, sebagai upaya menjaga dan
menghidupkan syiar agama (hifdz ad din). Tetapi pada saat yang sama kita
juga perlu mewaspadai potensi penularan wabah yang dapat saja terjadi melalui
keramaian jemaah di Masjid. Kewaspadaan dan kehati-hatian dalam hal ini adalah
bentuk penjagaan kita terhadap jiwa (hifdzun nafs), yang juga merupakan
ajaran inti agama.
Sejumlah kebijakan
diambil oleh pemerintah di negara-negara Muslim, didasarkan pada prinsip hifdzun
nafs ini. Misalnya peniadaan
shalat Jumat dan diganti dengan shalat dzuhur di rumah, sebagaimana diterapkan
di banyak negara. Atau kebijakan pemerintah
Saudi Arabia yang menghentikan
sementara ibadah umroh, membatasi
pelaksanaan tarawih di Masjid al Haram dan Masjid Nabawi. Di negeri
kita, ada edaran Menteri Agama agar tarawih dan tadarusan dilakukan di
rumah masing-masing, juga himbauan peniadaan acara buka
puasa bersama, peringatan Nuzulul Quran, i’tikaf dan shalat Idul Fitri yang melibatkan banyak
orang.
Kebijakan-kebijakan ini harus kita fahami secara bijak juga. Ia adalah bentuk usaha
lahiriah manusia dalam menghindari wabah Covid-19 yang bahayanya sudah jelas
dan terbukti memakan banyak korban. Tidak tepat kiranya jika kebijakan-kebijakan
inidikait-kaitkan dengan isu-isu lain yang tidak relevan, sebagaimana kadang
kita temukan di media sosial. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan ini justru merupakan
solusi konkrit yang mengkompromikan urgensi hifdzun nafs di satu sisi, tanpa
mengorbankan kepentingan agama di sisi lain. Ia adalah jalan tengah. Bukankah
jalan tengah seperti ini adalah ajaran Islam juga?
Dr. H Dede Ahmad Permana, MA
Comments
Post a Comment